Kesetaraan antara pria dan wanita dalam Islam bukanlah kesetaraan semu, yang diciptakan berdasarkan tuntutan hawa nafsu atau lingkungan semata. Kesetaraan yang memang karena tuntutan “fitrah” dan hajat manusiawi. Sebuah kesetaraan sejati tidak terbangun di atas dasar provokasi rekayasa semata.
Walaupun dalam peranan dan fungsi mereka berbeda, tapi dalam apresiasi atau pahala mendapatkan hal yang sama. Bahkan dalam beberapa hal yang seringkali dianggap mengurangi hak-hak perempuan, seperti tidak shalat di saat haid atau nifas, tidak mengurangi pahala sama sekali. Pemahaman ini didasarkan pada realita bahwa yang memerintahkan untuk shalat adalah Allah, dan sebaliknya juga yang memerintahkan untuk tidak shalat pada saatnya adalah juga Allah. Jadi inti pahala sesungguhnya bukan pada melakukan shalat atau tidak, tapi apakah kita mengikuti aturan atau tidak. Orang yang shalat ketika diperintah mendapat pahala, dan orang yang tidak shalat ketika diperintah untuk tidak shalat juga mendapat pahala. Jadi keduanya memiliki peluang yang sama dalam pahala. Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran akan adanya diskriminasi dalam pemberian pahala atau apresiasi terhadap kedua belah pihak.
Bahkan ketika Rasulullah SAW ditutus, ada perubahan revolusioner yang terjadi. Saat itu, perempuan di seluruh penjuru dunia berada dalam situasi yang sangat menyedihkan. Disaat perempuan tidak memiliki harga diri, yang dapat diwariskan kepada siapa saja sepeninggal suaminya, Rasulullah SAW datang dengan menempatkan mereka pada posisi yang setara dengan kaum Pria. Bahkan dalam beberapa indikasi, Rasulullah SAW memberikan tempat lebih kepada kaum wanita.
Tak heran, jika kemudian Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa kecintaan dan penghormatan seorang Muslim harus didedikasikan lebih besar (2/3) kepada kaum ibu ketimbang kaum pria. Ini terungkap ketika ditanay oleh seseorang, “Siapa yang seharusnya saya cintai? “Ibumu...(3x)”” lalu ketika ditanya untuk keempatkalinya, beliau SAW merespon, “Ayahmu!”.
Di tengah perasaan minder dan rendah diri jika memelihara anak perempuan, bahkan menjadikan kaum Arab ketika itu mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, Rasulullah SAW menyerukan keutamaan memelihara anak-anak wanita, Rasulullah SAW menyerukan keutamaan memelihara anak-anak peremuan. Bahkan menurut beliau SAW, “Memelihara tiga anak perempuan dengan tanggungjawab hingga dewasa, menjadikan seseorang masuk surga tanpa hisab”. Ketika ditanya bagaimana kalau hanya dua atau satu?” Beliau menjawab, “Dia juga akan masuk surga tanpa hisab”. Sungguh ajaran itu menentang arus deras perasaan malu dan hina saat memelihara anak-anak perempuan –ditengah kondisi bayi-bayi perempuan yang baru lahir dikubur hidup-hidup.
Sejak awal ajaran Islam, kaum perempuan selalu memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kasus-kasus yang terjadi, baik antar Rasulallah dengan kaum wanita, maupun pemimpin-pemimpin Muslim setelahnya. Tak jarang juga Rasulallah SAW meminta pendapat para istrinya dalam banyak urusan publik.
Umar bin Khaththab ra pernah ditantang seorang wanita karena keinginannya untuk membatasi mahar kaum wanita. Sang wanita dengan tegas berdiri di hadapan Khalifah Umar ra dan berkata, “Mahar adalah hak perempuan dan bukan hak pria. Untuk itu, yang berhak menentukan mahar adalah kaum perempuan”. Pemaparan ini menjelaskan bahwa Islam menghargai perempuan dalam beragam sisi.
Pada
October 03, 2017
0 komentar untuk Islam Menghargai Perempuan (Part 2)