Ada persepsi berkembang, bahwa Islam diskriminatif atas perempuan. Padahal, dalam sejarah Islam tak pernah ada pergesekan antara Islam yang murni dengan hak-hak perempuan. Islam sepanjang sejarahnya tak pernah menganggap perempuan produk setan, tidak pula dianggap sebagai tangan-tangan kejahatan.

Penyebab utama kesalahan itu karena tak tepat memahami kesetaraan. Seolah-olah “setara” berarti “sama”. Padahal, ada perbedaan antara “kesetaraan” dan “keserupaan” (sameness or being identical). Equalitas adalah indah, terpuji, adil, dan merata. Tapi sama belum tentu indah, adil, dan terpuji. Kesetaraan  menyangkut keadilan dan kesesuaian (appropriateness). Tapi sama belum tentu adil dan sesuai. Justru jika dua hal dipaksakan sama akan terjadi ketidakadilan.

Semua orang dilahirkan setara. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku atau kebangsaan, atau status sosio-ekonomi, tak mengganggu konsepsi kesetaraan (equalitas) yang Allah aungerahkan kepada semuanya. Tapi memaksakan kesetaraan dengan kesamaan (sameness) akan memaksa manusia menyamakan warna kulit, bahasa, suku, dan kebangsaan maupun status sosio-ekonomi lainnya.

Untuk memahami kesetaraan dalam Islam, diperlukan pemahaman menyeluruh dan tidak parsial. Dalam hal ini, hak-hak selalu dikaitkan dengan tugas-tugas dan kewajiban. Sementara tugas-tugas (duties) akan selalu terkait dengan kesesuaian dari mereka ang akan melaksanakan. Dalam dunia apa saja, hak selalu ditentukan kewajiban. Kewajiban ditentukan oleh “kesesuaian” dari pihak-pihak terkait.

Misalnya, masalah fungsi reproduksi. Laki dan perempuan terlibat dalam melakukan fungsi dan kewajiban. Hanya akan terjadi keturunan jika terjadi hubungan suami-istri. Tapi tetap yang bertanggungjawab meneruskan tugas reproduksi adalah kaum ibu. Hingga hari kiamat, walau kaum pria menuntut emansipasi pria untuk hamil, melahirkan, dan menyusui, mereka takkan mendapatkannya. 

Kesetraan antara pria dan wanita menurut al Quran terjadi seiring dengan penciptaan manusia itu sendiri. Adam dan Hawa diciptakan dari unsur yang sama, yaitu tanah. Ketika Allah menempatkan Adam dan istrinya di surga, keduanya secara estara (equal) diperbolehkan menikmati kesenangan surga, tapi juga keduanya diberi aturan yang sama secara setara (equally) untuk tidak mendekati pohon yang terlarang. Ketika keduanya tergoda Iblis dan memakan buah terlarang itu, keduanya setra mendapatkan konsekuensi yang sama. Namun ketika keduanya secara sama-sama meminta ampun, keduanya juga secara setara diampuni Allah SWT.

Kesetaraan antara pria dan wanita dalam ajaran Islam adalah kesetraan yang menyatu dan tak terpisahkan. Ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin terpisahkan, karena hanya akan menghilangkan nilai keduanya. Inilah yang digambarkan dalam kisah Adam. Ia telah menikmati semua kenikmatan surga, tapi ketika belum ada pendamping, maka ia pun kesepian. Bisa dibayangkan, semua bentuk kenikmatan ada di surga, kecuali perempuan. Itupun menjadikan Adam tidak mampu menikmati semua kenikmatan tersebut.

Bersambung...ke Part 2

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda ⇛   

0 komentar untuk Islam Menghargai Perempuan (Part 1)